11.5.11

Batik Ponorogo


Masalah seni batik didaerah Ponorogo erat hubungannya dengan perkembangan agama Islam dan kerajaan-kerajaan dahulu. Konon, di daerah Batoro Katong, ada seorang keturunan dari kerajaan Majapahit yang namanya Raden Katong adik dari Raden Patah. Batoro Katong inilah yang membawa agama Islam ke Ponorogo dan petilasan yang ada sekarang ialah sebuah mesjid didaerah Patihan Wetan.

Perkembangan selanjutnya, di Ponorogo, di daerah Tegalsari ada sebuah pesantren yang diasuh Kyai Hasan Basri atau yang dikenal dengan sebutan Kyai Agung Tegalsari. Pesantren Tegalsari ini selain mengajarkan agama Islam juga mengajarkan ilmu ketatanegaraan, ilmu perang dan kesusasteraan. Seorang murid yang terkenal dari Tegalsari dibidang sastra ialah Raden Ronggowarsito. Kyai Hasan Basri ini diambil menjadi menantu oleh raja Kraton Solo.
Waktu itu seni batik baru terbatas dalam lingkungan kraton. Oleh karena putri keraton Solo menjadi istri Kyai Hasan Basri maka dibawalah ke Tegalsari dan diikuti oleh pengiring-pengiringnya. Disamping itu banyak pula keluarga kraton Solo belajar di pesantren ini. Peristiwa inilah yang membawa seni batik keluar dari kraton menuju ke Ponorogo. Pemuda-pemudi yang dididik di Tegalsari ini, dalam masyarakat akan menyumbangkan dharma batiknya dalam bidang-bidang kepamongan dan agama.

Daerah perbatikan lama yang bisa kita lihat sekarang ialah daerah Kauman yaitu Kepatihan Wetan sekarang dan dari sini meluas ke desa-desa Ronowijoyo, Mangunsuman, Kertosari, Setono, Cokromenggalan, Kadipaten, Nologaten, Bangunsari, Cekok, Banyudono dan Ngunut. Waktu itu obat-obat yang dipakai dalam pembatikan ialah buatan dalam negeri sendiri yang berasal dari kayu-kayuan, antara lain : pohon tom, mengkudu, kayu tinggi. Sedangkan bahan kain putihnya juga memakai buatan sendiri dari tenunan gendong. Kain putih import bam dikenal di Indonesia kira-kira akhir abad ke-19.

Pembuatan batik cap di Ponorogo baru dikenal setelah perang dunia pertama yang dibawa oleh seorang Cina bernama Kwee Seng dari Banyumas. Daerah Ponorogo awal abad ke-20 terkenal batiknya dalam pewarnaan nila yang tidak luntur dan itulah sebabnya pengusaha-pengusaha batik dari Banyumas dan Solo banyak memberikan pekerjaan kepada pengusaha-pengusaha batik di Ponorogo. Akibat dikenalnya batik cap maka produksi Ponorogo setelah perang dunia petama sampai pecahnya perang dunia kedua terkenal dengan batik kasarnya yaitu batik cap mori biru. Pasaran batik cap kasar Ponorogo kemudian terkenal seluruh Indonesia.

31.3.11

Potensi Daerah Ponorogo


Salah satu daerah di Jawa Timur yang memiliki sumber daya alam melimpah adalah Kabupaten Ponorogo. Selain dikenal hingga mancanegara karena kesenian reognya, daerah yang terletak di antara 111°17’-111°52’ Bujur Timur dan 7°49’-8°20’ Lintang Selatan ini memiliki beberapa potensi daerah yang prospek bisnisnya cukup bagus.
Berbatasan langsung dengan Kabupaten Madiun, Magetan dan Nganjuk di sebelah utara, Kabupaten Tulungagung dan Trenggalek di sebelah Timur, Kabupaten Pacitan di selatannya, serta Kabupaten Wonogiri (Jawa Tengah) di sebelah baratnya, membuat Kabupaten Ponorogo terbagi menjadi dua kawasan yang berbeda yaitu perbukitan di daerah utara dan dataran rendah di kawasan selatan. Kondisi inilah yang membuat daerah Ponorogo memiliki berbagai potensi bisnis yang memberikan kebanggaan besar bagi warganya, serta menawarkan berbagai peluang usaha menjanjikan yang saat ini dijadikan sebagai mata pencaharian utama masyarakat di daerah tersebut.
Berikut ini beberapa potensi bisnis yang dapat ditemukan di Kabupaten Ponorogo.

Potensi Alam
Salah satu objek wisata unggulan yang ada di daerah Kabupaten Ponorogo yaitu wisata alam air terjun Pletuk yang berlokasi di Dusun Kranggan, Jurug Kecamatan Sooko, Kabupaten Ponorogo. Wisata alam yang berada pada ketinggian 400 mdpl ini menawarkan panorama air terjun alami yang mengalir dari Gunung Wilis kepada para pengunjungnya. Tidak hanya itu, di objek wisata Pletuk juga terdapat arena outbond serta agrowisata buah naga merah. Sehingga pengunjung selalu betah untuk berlama-lama tamasya di agrowisata ini.
Wisata alam lainnya yang cukup potensial adalah Telaga Ngebel. Terletak di Desa Wewengkon, Kecamatan Ngebel, Kabupaten Ponorogo dengan ketinggian 734 mdpl, wisata alam ini menampilkan pemandangan bukit berbaris dan panorama alami dari telaga Ngebel yang di kelilingi gunung Wilis. Keindahan pemandangan yang ditawarkannya, membuat wisatawan dari berbagai kalangan tidak pernah bosan untuk berkunjung ke objek wisata tersebut.


Potensi bisnis di bidang makanan

Selain wisata alam yang mempesona, Kabupaten Ponorogo juga memiliki dua daerah potensial yang menjadi sentra bisnis roti. Yaitu di Kecamatan Brotonegaran dan Kepatihan, serta di Kecamatan Sambit, Kabupaten Ponorogo. Di kedua kecamatan tersebut, hampir semua warganya berprofesi sebagai produsen roti. Dari mulai roti tawar, roti manis, kue bolu, donat, serta jenis kue lainnya yang dipasarkan di daerah Ponorogo dan beberapa daerah disekitarnya. Tak heran jika dua kecamatan ini sudah dikenal masyarakat luas sebagai sentranya produsen roti.


Potensi bisnis kerajinan kulit

Di bidang kerajinan, Ponorogo juga memiliki sentra kerajinan kulit yang sudah dibangun sejak tahun 1980. Bisnis kerajinan tersebut berada di desa Nambangrejo, Kecamatan Sukorejo, Ponorogo. Dan seperti halnya yang terjadi di daerah sentra roti, sebagian besar masyarakat di desa Nambangrejo juga menekuni bisnis kerajinan kulit untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Berbekal kulit domba dan kulit sapi, para pengrajin berhasil memproduksi beraneka macam kerajinan kulit yang memiliki nilai jual cukup tinggi. Antara lain seperti ikat pinggang, aneka macam dompet, jaket, dan produk lainnya yang kini sudah menjangkau pasar di luar daerah Ponorogo.


Potensi agibisnis

Mengingat sebagian dari wilayah Ponorogo adalah kawasan pegunungan, maka tidaklah heran bila potensi agribisnis yang dimiliki daerah tersebut cukup tinggi. Bahkan potensi di bidang ini telah berhasil memberikan kontribusi cukup besar bagi pendapatan daerah. Beberapa produk unggulan yang dihasilkan dari pertanian di Ponorogo antara lain cabai, yang berpusat di Kecamatan Slahung dan Balong, Kabupaten Ponorogo. Serta budidaya buah naga merah yang berlokasi di Desa Jurug, Kecamatan Sooko, Kabupaten Ponorogo (di sekitar objek wisata air terjun Pletuk).
Potensi berbagai produk unggulan dari tanah liat
Beberapa produk unggulan yang terbuat dari tanah liat seperti genteng, bata merah, serta gerabah, menjadi salah satu potensi bisnis yang sangat menguntungkan bagi masyarakat di Desa Gombang, Kecamatan Slahung, Kabupaten Ponorogo. Memanfaatkan potensi tanah liat yang diambil langsung dari alam, para pengrajin mencoba memenuhi permintaan pasar yang semakin modern dengan menawarkan kualitas yang terbaik. Jadi, meskipun semua produk dibuat secara manual, namun kualitasnya tidak kalah bersaing dengan produk cetakan mesin. Hal inilah yang membuat produk unggulan dari tanah liat berhasil menembus pasar di Jawa Tengah, Jawa Timur hingga sebagian wilayah di Jakarta.
Semoga berbagai informasi potensi bisnis daerah Ponorogo yang telah kita bahas bersama, dapat memberikan inspirasi bisnis bagi masyarakat di daerah lain untuk mulai memanfaatkan segala potensi alam yang ada di masing-masing daerah sebagai peluang usaha yang cukup menjanjikan. (dari: bisnisukm.com)

22.2.11

Sejarah Poorogo Dan Asal Usul Reog


Mengenai asal-usul Ponorogo sampai dengan saat penyusunan naskah ini belum ditemukan dan diketahui secara pasti. Berikut kami sampaikan beberapa analisa dari berbagai sumber yang diperkirakan ada kaitannya atau kemiripannya dengan sebutan nama Ponorogo.

A. BERDASARKAN LEGENDA
1. Di dalam buku Babad Ponorogo yang ditulis oleh Poerwowidjojo diceritakan bahwa asal-usul nama Ponorogo. Bermula dari kesepakatan dan musyawarah antara Raden Katong. Kyai Mirah. Dan Joyodipo pada hari jum’at sat bulan purnama. Bertempat di tanah lapang dekat gumuk ( wilayah Katongan sekarang ). Di dalam musyawarah tersebut disepakati bahwa kota yang akan didirikan nanti dinamakan “ Pramana raga “ akhirnya lama kelamaan menjadi Ponorogo.

2. Dari cerita rakyat yang masih hidup di kalangan masyarakat terutama dikalangan generasi tua. Ada yang mengatakan bahwa nama Ponorogo kemungkinan berasal dari kata Pono : Wasis, pinter, mumpuni, mengerti benar, Raga : Jasmani badan sekujur. Akhirnya menjadi Ponorogo.

B. TINJAUAN ETIMOLOGI
Mengacu dari sumber-sumber certa diatas. Jika ditinjau secara etimologi akan kita dapatkan beberapa kemungkinan sebagai berikut :

1. Prama Raga
Sebutan Pramana Raga terdiri dari dua kata :
Pramana : Daya kekuatan, rasa hidup, permono, wadi
Raga : Badan, Jasmani
Dari penjabaran tersebut dapat ditafsirkan bahwa dibalik badan wadak manusia itu tersimpan suatu rahasia hidup ( Wadi ) berupa olah batin yang mantap dan mapan berkaitan dengan pengendalian sifat-sifat amarah, alumawah, shuflah, muthmainah

2. Ngepenakake raga menjadi Panaraga
Manusia yang memiliki kemampuan olah batin yang mantap dan mapan akan dapat menempatkan diri dimana pun dan kapan pun berada.
Akhirnya apapun tafsirannya tentang Ponorogo dalam wujud seperti yang kita lihat sekarang ini adalah tetap Ponorogo sebagai kota REOG yang menjadi kebanggan masyarakat Ponorogo



Menurut cerita, kelahiran kesenian Reog dimulai pada tahun Saka 900, dilatarbelakangi kisah tentang perjalanan Prabu Kelana Sewandana, Raja Kerajaan Bantarangin yang sedang mencari calon permaisurinya. Bersama prajurit berkuda, dan patihnya yang setia, Bujangganong. Akhirnya gadis pujaan hatinya telah ditemukan, Dewi Sanggalangit, putri Kediri. Namun sang putri menetapkan syarat agar sang prabu menciptakan sebuah kesenian baru terlebih dahulu sebelum dia menerima cinta sang raja. Maka dari situlah terciptalah kesenian Reog. Bentuk Reog pun sebenarnya merupakan sebuah sindiran yang maknanya bahwa sang raja (kepala harimau) sudah disetir atau sangat dipengaruhi oleh permaisurinya (burung merak).
Biasanya satu group dalam pertunjukan Reog terdiri dari seorang Warok Tua, sejumlah warok muda, pembarong, penari Bujang Ganong, dan Prabu Kelono Suwandono. Jumlahnya berkisar antara 20 hingga 30-an orang, peran sentral berada pada tangan warok dan pembarongnya. Tulisan Reog sendiri asalnya dari Reyog, yang huruf - hurufnya mewakili sebuah huruf depan kata-kata dalam tembang macapat Pocung yang berbunyi : rasa kidung/ingwang sukma adiluhung/Yang Widhi/olah kridaning Gusti/gelar gulung kersaning Kang Maha Kuasa.

Penggantian Reyog menjadi Reog yang disebutkan untuk "kepentingan pembangunan" - saat itu sempat menimbulkan polemik. Bupati Ponorogo Markum Singodimejo yang mencetuskan nama Reog (Resik, Endah, Omber, Girang gemirang) tetap mempertahankannya sebagai slogan resmi Kabupaten Ponorogo.
dirangkum dari berbagai sumber

21.2.11

Pementasan Reog


Reog modern biasanya dipentaskan dalam beberapa peristiwa seperti pernikahan, khitanan dan hari-hari besar Nasional. Seni Reog Ponorogo terdiri dari beberapa rangkaian 2 sampai 3 tarian pembukaan. Tarian pertama biasanya dibawakan oleh 6-8 pria gagah berani dengan pakaian serba hitam, dengan muka dipoles warna merah. Para penari ini menggambarkan sosok singa yang pemberani. Berikutnya adalah tarian yang dibawakan oleh 6-8 gadis yang menaiki kuda. Pada reog tradisionil, penari ini biasanya diperankan oleh penari laki-laki yang berpakaian wanita. Tarian ini dinamakan tari jaran kepang, yang harus dibedakan dengan seni tari lain yaitu tari kuda lumping. Tarian pembukaan lainnya jika ada biasanya berupa tarian oleh anak kecil yang membawakan adegan lucu.

Setelah tarian pembukaan selesai, baru ditampilkan adegan inti yang isinya bergantung kondisi dimana seni reog ditampilkan. Jika berhubungan dengan pernikahan maka yang ditampilkan adalah adegan percintaan. Untuk hajatan khitanan atau sunatan, biasanya cerita pendekar,
Adegan dalam seni reog biasanya tidak mengikuti skenario yang tersusun rapi. Disini selalu ada interaksi antara pemain dan dalang (biasanya pemimpin rombongan) dan kadang-kadang dengan penonton. Terkadang seorang pemain yang sedang pentas dapat digantikan oleh pemain lain bila pemain tersebut kelelahan. Yang lebih dipentingkan dalam pementasan seni reog adalah memberikan kepuasan kepada penontonnya.

Adegan terakhir adalah singa barong, dimana pelaku memakai topeng berbentuk kepala singa dengan mahkota yang terbuat dari bulu burung merak. Berat topeng ini bisa mencapai 50-60 kg. Topeng yang berat ini dibawa oleh penarinya dengan gigi. Kemampuan untuk membawakan topeng ini selain diperoleh dengan latihan yang berat, juga dipercaya diproleh dengan latihan spiritual seperti puasa dan tapa.

Sejarah asal usul Desa Singgahan

Singgahan adalah sebuah desa yang terletak di lereng sebelah barat pegubungan Wilis. Desa ini terdiri dari enam dusun: Krajan, Ngradi, Singgahan Lor, Cengkir, Mojo, dan Puthuk Suren. Sekalipun bisa dikatakan sebagai daerah pinggiran, namun Singgahan terbilang mudah untuk dijangkau. Dengan menggunakan sepeda motor, desa ini bisa dijangkau hanya sekitar 1 jam perjalanan dari pusat kota.

Menurut historiografi lokal yang ditulis oleh Senodijokarso (Kepala Desa Singgahan di era 80-an), sejarah Singgahan memiliki kaitannya dengan Pajang. Daerah ini dulunya dihuni oleh Aria Jipang yang membangun rumah joglo (Jawa) di tengah hutan. Setelah Aria Jipang meninggal, keluarganya kemudian meninggalkan rumah tersebut sehingga daerah ini kembali menjadi hutan rimba.

Rumah joglo peninggalan Aria Jipang yang terlantar di tengah hutan tersebut kemudian dihuni oleh Raden Bagus Panjul, seorang putra patih dari Kota Lama Ponorogo. Ia sesungguhnya menemukan rumah tersebut tanpa sengaja. Ia diusir oleh orang tuanya ke hutan sebelah timur Pulung. Pada saat itulah, ia menemukan rumah joglo peninggalan Aria Jipang tersebut.

Di dalam rumah tersebut, Raden Panjul menemukan benda-benda pusaka berupa keris dan boneka. Raden Panjul meyakini bahwa rumah tersebut adalah tempat menyimpan (Jawa: nyinggahne) barang-barang pusaka. Dari keyakinannya inilah, ia kemudian memberi nama tempat ini Singgahan, yang berarti tempat untuk menyimpang barang (pusaka).
Sejarah terus berkembang. Singgahan yang pada awalnya berupa hutan belantara kemudian menjadi wilayah perkampungan yang ramai. Menurut lacakan Senodijokarso, kepala desa pertama Desa Singgahan adalah Lurah Martodipuro pada tahun 1851. Tercatat sampai tahun 1982 telah terjadi empat belas kali pergantian kepala desa.
Desa ini bisa disebut sebagai desa seni. Kita akan sangat mudah menemukan berbagai jenis kesenian tradisional, misalnya, reyog, Jaranan Thik, gajah-gajahan, tayub, keling, dan sebagainya. Data desa tahun 1982 menyatakan bahwa di desa tersebut terdapat dua unit reyog, empat orang dalang wayang kulit, lima karawitan putra, empat karawitan putri, dua ketoprak, serta berbagai seniman mandiri.
dari berbagai sumber.

19.2.11

Warga Singgahan Gelar Pesta Rakyat dan Budaya


Pertengahan bulan Desember 2010 kemaren, suasana di beberapa tempat di wilayah Kabupaten Ponorogo dipastikan bakal meriah, terlebih di Kecamatan Pulung, Ponorogo.

Memasuki kalender Tahun Baru Islam 1432 Hijriyah, atau dalam masyarakat jawa dikenal sebagai bulan Suro, masyarakat Desa Singgahan di Kecamatan Pulung bakal mengadakan berbagai macam kegiatan untuk memperingatinya.

Seperti dilansir dalam situs pertemanan Ponorogozone, kegiatan dan pagelaran memperingati bulan Suro yang bertajuk ‘Pagelaran Akbar Pesta Rakyat Kasepuhan Ngasuro’ tahun ini, akan dilaksanakan pada tanggal 15 – 16 Desember kemaren.

Beberapa kalender kegiatan yang akan dilaksanakan antara lain, Ritual Bersih Desa, Istighosah, Santunan Anak Yatim, Pagelaran Kesenian Jaran Janen, Kesenian Thik, Keling, Reog, Campursari serta Wayang Kulit.
Sumber:lintasberita.com

Asal Usul Reog part1


DI kalangan masyarakat dan pelaku reog di Ponorogo beredar berbagai versi cerita asal-usul kesenian reog. Begitu pula di sana terdapat sejumlah variasi pertunjukan reog. Dengan demikian muncul persoalan: cerita asal-usul mana yang akan dipakai sebagai landasan penentuan reog sebagai identitas lokal? Reog macam apa yang dipilih?

Versi Bantarangin menyebut empat peran dalam reyog: seorang raja kerajaan Bantarangin bernama Kelana Sewandana, patihnya yang bernama Bujang Ganong, sekelompok prajurit kavaleri kerajaan Bantarangin, dan Singa Barong penguasa hutan Lodaya.

Sementara itu, versi Ki Ageng Kutu Suryangalam hanya mengenal tiga peran: Bujang Ganong, sekelompok pasukan berkuda, dan Singa Barong. Dalam hal jumlah dan identitas peran dalam reyog Ponorogo versi Batara Katong sebenarnya tidak berbeda dari versi Bantarangin.

Versi Batara Katong juga mengenal keempat peran di atas. Namun, berbeda dari versi Bantarangin, versi Batara Katong memahami ke empat peran dalam reyog tersebut sebagai rekaan Ki Ageng Mirah - salah seorang pengikut Batara Katong dalam upayanya menyebarkan agama islam di kalangan masyarakat Ponorogo pada abad XV (menjelang runtuhnya Majapahit).

Untuk mengatasi persoalan seperti itu pada bulan September 1992 pemerintah kabupaten setempat membentuk sebuah tim kerja yang bertugas mempersiapkan sebuah naskah yang memuat aspek sejarah, kisah asal-usul, serta aspek filosofis kesenian rakyat tersebut; serta menguraikan tata rias dan busana, musik, peralatan, dan aspek koreografinya.

Tim tersebut beranggotakan para seniman reog Ponorogo, tokoh masyarakat, dan pejabat pemerintahan kabupaten. Hasil kerja tim tersebut berupa naskah berjudul Pembakuan Kesenian Reog Ponorogo Dalam Rangka Kelestarian Budaya Bangsa (Soemardi, 1992), yang dipresentasikan dalam sebuah saresehan di Pendapa Kabupaten Ponorogo, 24 Nopember 1992.

Setelah mengalami sejumlah revisi, pada tahun 1993 naskah tersebut diterbitkan oleh pemerintah daerah setempat dalam bentuk buku berjudul Pedoman Dasar Reyog Ponorogo Dalam Pentas Budaya Bangsa. Revisi terpenting dilakukan pada unsur sejarah dan legenda asal-usul. Semula naskah Pembakuan hanya mencantumkan satu varian dari versi Bantarangin.

Dalam buku Pedoman Dasar dimuat ketiga versi utama kisah asal-usul reyog Ponorogo dan ditempatkan secara kronologis.
Versi Bantarangin yang merujuk pada jaman kerajaan Kediri (abad XI) dianggap sebagai versi tertua diletakkan pada bagian paling awal,
disusul oleh versi Ki Ageng Kutu Suryangalam yang merujuk pada masa pemerintahan Bhre Krtabumi di Majapahit (abad XV),
dan diakhiri oleh versi Batara Katong yang merujuk pada penyebaran agama Islam di wilayah Ponorogo pada abad XV pula (ditandai dengan dikalahkannya Ki Ageng Kutu Suryangalam yang beragama Budo oleh Batara Katong yang beragama Islam).

Dengan cara pandang seperti itu, pemerintah setempat menempatkan versi Batara Katong sebagai bentuk perkembangan terakhir, dan mendudukkan upaya pemerintah setempat di akhir abad XX sebagai kelanjutannya.

Bisa diperkirakan bahwa persoalan kisah asal-usul reog Ponorogo ini mengundang perbantahan di kalangan pelaku kesenian tersebut. Sejumlah tokoh masyarakat dan praktisi reyog yang hadir dalam saresehan pada waktu itu menceritakan kembali bagaimana suasana pertemuan tersebut berubah menjadi arena perdebatan yang sengit antara pihak-pihak yang bersikukuh pada ‘kebenaran' kisah yang diyakininya.

Sebuah bentuk argumentasi tipikal dalam perdebatan mengenai ‘kebenaran' kisah asal-usul Reyog Ponorogo adalah pertanyaan mengenai ketuaan periode sejarah yang dirujuk oleh masing-masing cerita. Pertanyaan semacam ini biasanya diajukan untuk mengklaim bahwa versi yang merujuk pada periode sejarah yang lebih tua dianggap lebih otentik. Memakai tolok ukur serupa itu, maka versi Bantarangin yang merujuk pada abad XI (masa kerajaan Kediri ) dipandang sebagai kisah yang lebih otentik. Namun, klaim serupa itu mendapat tantangan dari pihak lain yang menggunakan tolok ukur ‘kebenaran' berbeda.

Sekadar sebagai contoh, mereka yang tidak sepakat dengan versi Bantarangin, meragukan kebenaran versi Bantarangin karena terdapat kejanggalan antara gelar yang disandang oleh guru dari raja Bantarangin (Kelana Sewandana), yakni Sunan - yang bernuansa Islam, dengan periode sejarah yang dirujuknya, yaitu jaman kerajaan Kediri yang Hindu.
Dalam perbantahan semacam itu ‘kebenaran' juga sering ditegakkan dengan cara menemukan kesesuaian antara nama-nama yang disebutkan dalam cerita dengan kondisi alam suatu daerah. Contohnya, orang menanggapi nama Bantarangin sebagai kerata basa dan menafsirkannya sebagai petunjuk mengenai sebuah lokasi di mana angin bertiup dengan kencang (Jawa: banter). Penafsiran semacam itu kemudian dicocokkan dengan kondisi alam daerah Sumoroto yang diyakini sebagai lokasi kerajaan Bantarangin. Bahkan nama Sumoroto pun juga ditafsir sebagai petunjuk mengenai daerah yang datar (Jawa: rata) dari berbagai sumber.

Asal Usul Kata Ponorogo


Pada tahun 1478 Masehi Kerajaan Majapahit jatuh dan kemasyhurannya telah hilang kemudian muncullah kerajaan baru yaitu Kerajaan Demak dibawah pimpinan Raden Patah. Raden Bathara Katong yang merupakan putra dari raja Majapahit Brawijaya V ikut bergabung dengan kakaknya Raden Patah di Kerajaan Demak. Raden Bathara Katong dididik kakaknya dengan ajaran-ajaran Islam.

Setelah dewasa Raden Bathara Katong diberi tugas oleh Raden Patah untuk pergi ke Wengker untuk menyelidiki daerah tersebut bersama Senapati Sela Aji. Wengker adalah wilayah yang berada di sebelah timur Gunung Lawu. Batas sebelah selatan adalah laut selatan, batas timur adalah Gunung Wilis dan batas sebelah utara adalah wilayah Majapahit. Raden Bathara Katong dan Senapati Sela Aji tiba di wilayah Wengker ketika hari mulai gelap. Mereka mulai kebingungan untuk menjalankan tugas karena belum mengenal seluk beluk Wengker, ditambah lagi hari yang mulai menginjak malam. Untunglah dari kejauhan terlihat nyala api yang menyala. Mereka segera menuju ketempat asal api menyala. Setelah dekat dari pusat api terlihat sebuah rumah sederhana yang di sampingnya terdapat bangunan surau kecil.

Kedatangan Raden Bathara Katong dan Senapati Sela Aji disambut gembira dan senang hati oleh pemilik rumah dan surau kecil itu, yaitu seorang lelaki tua. Lelaki tua tersebut mengenalkan dirinya dengan nama Kiai Ageng Mirah. Raden Bathara Katong dan Senapati Sela Aji mengaku terus terang jika mereka adalah utusan dari Kerajaan Demak untuk menyelidiki daerah Wengker.

Kiai Ageng Mirah merasa senang hati menerima tamu agung dari Kerajaan Demak. Keduanya kemudian diajak sholat magrib berjamaah. Setelah usai sholat Kiai Ageng Mirah mulai menceritakan seluk beluk dan garis besar daerah Wengker. Setelah hari larut malam, Kia Ageng Mirah menyuruh mereka menginap dirumahnya.

Keesokan harinya Kia Ageng Mirah menyertai Raden Bathara Katong dan Senapati Sela Aji melihat – lihat keadaan. Setelah dirasa cukup Raden Bathara Katong dan Sela Aji kembali ke Demak dengan mengajak Ki Ageng Mirah untuk melaporkan hasil penyelidikkannya. Setelah mendengar laporan dari Bathara Katong, Raden Patah memutuskan mengangkat Raden Bathara Katong sebagai penguasa Wengker, dan mengangkat Senapati Sela Aji sebagai patih. Sedangkan Ki Ageng Mirah diangkat menjadi penasehat. Raden Bathara Katong bersama patih Sela Aji dan Ki Ageng Mirah kembali ke Wengker. Mereka disertai 40 prajurit Demak untuk membuka hutan di Wengker. Sesampainya di Wengker mereka sibuk mencari tempat yang cocok untuk mendirikan kadipaten. Sampai akhirnya mereka sampai di hutan glagah yang berbau wangi. Raden Bathara Katong member nama hutan itu Glagah Wangi. Di hutan inilah rombongan mulai membuka hutan.

Pekerjaan membuka hutan pun selesai, kemudian dilanjutkan membangun tempat tinggal. Namun dalam pembuatan tempat tinggal ini mendapatkan halangan. Ketika rumah telah usai didirikan keesokan harinya rumah-rumah tersebut roboh lagi. Ki Ageng Mirah tahu kalau ada makhluk yang mengganggu. Ki Ageng Mirah kemudian mengajak Raden Bathara Katong untuk bertapa. Pada tengah malam muncul hal gaib yaitu keluar angin besar dan tiba-tiba muncul dua sosok makhluk tinggi besar. Mereka mengaku penunggu hutan yang dibuka Raden Bathara Katong, mereka bernama Jayadrana dan Jayadipa. Kemudian Raden Bathara Katong meminta ijin kepada mereka untuk mendirikan sebuah kadipaten ditempat tersebut. Setelah mendapatkan izin dari Jayadrana dan Jayadipa pembangunan dapat diselesaikan dengan lancar. Jayadipa pula yang kemudian menunjukkan tempat yang cocok untuk pusat kota. Tempat itu berada di tengah-tengah hutan yang sudah dibuka tersebut. Ditempat ini pula Raden Bathara Katong menemukan tiga pusaka. Pusaka yang pertama berbentuk paying yang bernama Payung Tunggul Wulung, pusaka kedua berupa tombak yang bernama tombak Tunggul Naga. Dan pusaka yang ketiga berupa sabuk yang bernama Sabuk Chinde Puspita.

Pada saat Raden Bathara Katong mengambil ketiga pusaka tersebut terjadi tiga kali ledakan besar dan membuat tanah berhamburan. Tanah – tanah yang berhamburan tersebut kemudian membentuk lima bukit. Bukit-bukit tersebut ada yang dinamakan Gunung Lima dan Gunung Sepikul. Sedangkan lobang bekas ledakan menjadi sebuah goa yang diberi nama Goa Sigala Gala. Ternyata ketiga pusaka terrsebut adalah milik ayah Raden Bathara Katong, Prabu Brawijaya V. Saat itu Majapahit di bawah pimpinan Raja Brawijaya V diserang oleh Raja Girindrawardana. Kemudian Raja Brawijaya mengungsi ke Wengker bersama Jayadrana dan Jayadipa.

Raden Bathara Katong semakin mantap membangun Wengker setelah mendapatkan pusaka warisan orang tuanya. Pembangunan Wengker mulai berkembang dengan baik. Hutan sudah berhassil dibuka. Rumah sudah didirikan, banyak pendatang yang ikut bergabung didalamnya. Akhirnya terbentuklah sebuah kadipaten baru. Namun sayang kota tersebut belum mempunyai nama. Untuk member nama kota tersebut, Raden Bathara Katong mengadakan musyawarah. Dari musyawarah tersebut disepakati sebuah nama baru untuk kota tersebut, nama itu adalah Pramono Rogo. Pramono berarti bersatunya cahaya matahari dan bulan yang menyinari kehidupan di bumi, dan rogo berarti badan. Nama Pramono rogo ini lama kelamaan berubah menjadi Ponorogo. Pono berarti tahu akan segala sesuatu, dan rogo berari badan manusia. Jadi Ponorogo berarti manusia yang tahu akan kedudukannya sebagai manusia.

Sumber : buku Cerita Rakyat dari Ponorogo karangan Edy Santosa