21.2.11

Sejarah asal usul Desa Singgahan

Singgahan adalah sebuah desa yang terletak di lereng sebelah barat pegubungan Wilis. Desa ini terdiri dari enam dusun: Krajan, Ngradi, Singgahan Lor, Cengkir, Mojo, dan Puthuk Suren. Sekalipun bisa dikatakan sebagai daerah pinggiran, namun Singgahan terbilang mudah untuk dijangkau. Dengan menggunakan sepeda motor, desa ini bisa dijangkau hanya sekitar 1 jam perjalanan dari pusat kota.

Menurut historiografi lokal yang ditulis oleh Senodijokarso (Kepala Desa Singgahan di era 80-an), sejarah Singgahan memiliki kaitannya dengan Pajang. Daerah ini dulunya dihuni oleh Aria Jipang yang membangun rumah joglo (Jawa) di tengah hutan. Setelah Aria Jipang meninggal, keluarganya kemudian meninggalkan rumah tersebut sehingga daerah ini kembali menjadi hutan rimba.

Rumah joglo peninggalan Aria Jipang yang terlantar di tengah hutan tersebut kemudian dihuni oleh Raden Bagus Panjul, seorang putra patih dari Kota Lama Ponorogo. Ia sesungguhnya menemukan rumah tersebut tanpa sengaja. Ia diusir oleh orang tuanya ke hutan sebelah timur Pulung. Pada saat itulah, ia menemukan rumah joglo peninggalan Aria Jipang tersebut.

Di dalam rumah tersebut, Raden Panjul menemukan benda-benda pusaka berupa keris dan boneka. Raden Panjul meyakini bahwa rumah tersebut adalah tempat menyimpan (Jawa: nyinggahne) barang-barang pusaka. Dari keyakinannya inilah, ia kemudian memberi nama tempat ini Singgahan, yang berarti tempat untuk menyimpang barang (pusaka).
Sejarah terus berkembang. Singgahan yang pada awalnya berupa hutan belantara kemudian menjadi wilayah perkampungan yang ramai. Menurut lacakan Senodijokarso, kepala desa pertama Desa Singgahan adalah Lurah Martodipuro pada tahun 1851. Tercatat sampai tahun 1982 telah terjadi empat belas kali pergantian kepala desa.
Desa ini bisa disebut sebagai desa seni. Kita akan sangat mudah menemukan berbagai jenis kesenian tradisional, misalnya, reyog, Jaranan Thik, gajah-gajahan, tayub, keling, dan sebagainya. Data desa tahun 1982 menyatakan bahwa di desa tersebut terdapat dua unit reyog, empat orang dalang wayang kulit, lima karawitan putra, empat karawitan putri, dua ketoprak, serta berbagai seniman mandiri.
dari berbagai sumber.

5 komentar: